Rabu, 10 Oktober 2012

PEMILU

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi. Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama, lewat pemilu kita dapat menguji hak – hak politik rakyat secara masif dan serempak. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan umum kita menginginkan adanya pola pergiliran kekuasaan yang damai.
            Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.

B. Perumusan Masalah
            Semua negara sering mendeklarasikan sebagai negara yang demokratis. Salah satu cirinya utamanya yaitu penyelenggaraan pemilu untuk memilih wakil rakyat, baik di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif, berdasarkan program yang diajukan peserta pemilu. Oleh karena itu, tujuan pelaksanaan pemilu adalah terpilihya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar – benar sesuai dengan aspirasi rakyat. Pemilu yang dilaksanakan tanggal 9 April 2009 terdapat banyak kelemahan. Pertama, aturan pemilu sering berubah – ubah atau tidak stabil diluar kewanangan KPU. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya. Lebih tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dimana hak pilih rakyat harus bisa teraspirasikan, tetapi tidak bisa teraspirasi dalam pemilu karena banyak warga yang berhak untuk mencontreng tidak tercantum namanya dalam daftar pemilih tetap. Sungguh ironis dalam hal ini, dimana negara Indonesia menyatakan bahwa dirinya adalah negara yang demokratis.

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui kelemahan pemilihan umum 2009.
2. Dapat mengetahui bagaimana pesta demokrasi di Indonesia berjalan.
3. Dapat mengetahui apakah hak pilih semua warga Indonesia dapat teraspirasi dan terpenuhi dalam pemilu.
4. Dapat mengetahui apakah asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berjalan di Indonesia.
D. Manfaat
1. Memperluas pandangan kita bagaimana realita pemilu di Indonesia.
2. Memperluas pengalaman dan pengetahuan tentang politik di Indonesia.
3. Memperluas pemahaman bagaimana asas pemilu harus dijalankan dan pentingnya hak pilih warga harus dijunjung tinggi.

E. Ruang Lingkup
Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia merupakan sebuah jalannya pesta demokrasi di Indonesia. Demokrasi di Indonesia yaitu berupa pemilihan calon anggota legislatif yang akan duduk di kursi DPR, DPRD dan DPD dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan anggota legislatif berasal dari berbagai partai – partai politik yang memenangkan dalam pemilihan umum secara langsung. Pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat yang sebelumnya calon presiden dan wakil persiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum dan calon presiden sudah memenuhi persyarat sebagai seorang presiden menurut UUD 1945 pasal 6.

II. METODE PENULISAN

A. Objek Penulisan
            Pemilihan umum di Indonesia merupakan salah satu ciri negara yang demokratis. Dimana hak pilih setiap rakyat secara langsung merupakan salah satu hak rakyat yang harus bisa terpenuhi. Setiap rakyat Indonesia berhak untuk menyalurkan aspirasinya dalam pemilu. Pemilu yang di laksanakan tanggal 9 April 2009 merupakan sarana untuk mengaspirasikan suara rakyat yeng disalurkan melalui memilh secara langsung wakil – wakil rakyat yang dipilihnya. Namun pemilu yang di laksanakan belum lama ini telah memberika kita sebuah catatan besar bahwa banyak kelemahan dalam pemilu. Ini sungguh ironis dan menjadi sebuah catatan besar bagi penyelenggara pemilu.

B. Dasar Pemilihan Objek
            Pesta demokrasi yang berjalan di Indonesia belum benar – benar berjalan dengan baik, karena banyak terjadi kesalahan dalam penyelenggaraan pemilu. Misalnya; banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, banyak warga yang berpaham apatisme, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi.

C. Metode Pengumpulan Data
a. Kaji pustaka
            Melalui pengkajian dari berbagai sumber yang benar – benar obyektif, sesuai dengan realita yang terjadi dalam pemilu yang berjalan di Indonesia. Sumber – sumber yang di tuangkan dalam berbagi artikel, makalah, dan pengkajian tentang penilaian pemilu 2009.
D. Metode Analisis
            Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu yang sudah berjalan banyak sekali kelemahan dan pelanggaran terhadap hak pilih rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara. Banyak warga yang tidak memilih, baik karena golput politik ataupun golput secara teknis-administratif. Agar kesalahan – kesalahan ini tidak terjadi lagi dalam pemilu yang akan datang, perlu sekiranya KPU harus memutakhirkan data pemilih. Ada dua hal yang mungkin bisa dilakukan KPU dalam melindungi hak warga yang sebelumnya telah dilanggar. Pertama yaitu dengan membuat posko pengaduan warga yang belum tercantum dalam DPT. Kedua yaitu menerbitkan peraturan KPU yang mengakomodasi pemilih yang tidak terdaftar, kendati semua pihak telah bekerja keras untuk itu. Mereka cukup menunjukkan KTP atau tanda kependudukan yang sah kepada petugas TPS bila hendak memilih. Terhadap rekomendasi kedua ini, KPU bisa berdalih surat suara terbatas dan undang-undang telah memagari KPU bahwa hanya pemilih terdaftar yang bisa memilih. Terhadap problem jumlah surat suara, bisa saja diatur bahwa mereka yang tidak terdaftar baru diizinkan memilih bila proses pemungutan suara bagi pemilih terdaftar telah ditutup pada pukul 12.00 dan masih ada sisa surat suara yang belum terpakai.

III. ANALISIS PERMASALAHAN
A. Pembahasan
a. Lemahnya Pemilu 2009
            Pemilu 2009 yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009 sekali lagi telah menorehkan sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia. Puluhan ribu calon legislatif memperebutkan kursi panas di Senayan. Banyak hal yang kemudian menjadi sorotan dan dianggap sebagai kelemahan pemilu 2009. Kelemahan-kelemahan tersebut bersifat substantif maupun teknis.
Secara substantif, beberapa hal yang menjadikan pemilu 2009 memiliki kelemahan. Pertama, aturan Pemilu kali ini sangat tidak stabil alias suka berubah-ubah diluar kewenangan KPU, misalnya soal terbitnya Perpu dan putusan MK yang semuanya substansial yaitu pergantian tata cara pemungutan suara dari coblos menjadi contreng. Baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama-sama memiliki kendala sempitnya waktu persiapan penyelenggaraan pemilu karena undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan terbit kurang dari 1,5 tahun dari tanggal pemungutan suara. Padahal, idealnya waktu persiapan penyelenggaraan sekitar dua tahun. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta Pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya.
Selain diliputi masalah-masalah yang sifatnya substantif, pemilu 2009 juga tak luput dari masalah teknis. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di KPU mengungkapkan ada 7 permasalahan dalam pemilu 2009 yakni kurang akuratnya data pemilih, tidak memenuhi persyaratannya calon legislatif, permasalahan parpol internal KPUD yang kurang transparan dan tidak adil terhadap calon-calonnya, dugaan money politics, pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan kurang akurat.
 Terdapat sebuah kasus yang menjadi sebuah catatan penting bagi jalannya pemilu yang berjalan di Indonesia ini. Yaitu ketidak beresan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Ironisnya terdapat warga yang mendapat undangan untuk mencontreng di dua TPS yang berbeda. Ini sungguh sebuah catatan penting bagi penyelenggara pemilu, karena masalah teknis seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam pesta demokrasi yang memakan uang rakyat. Sungguh ironis ada dalam satu keluarga saja ada yang yang terdata dan ada yang tidak terdata sebagai pemilih. Lebih parah lagi dalam suatu keluarga ada yang tidak sama sekali terdata sebagai pemilih. Hal ini selain merugikan warga negara karena harus kehilangan hak pilihnya, penyelenggaraan pemilu ini juga secara tidak langsung meningkatkan angka golput, baik golput karena memang menganggap pemilu 2009 tidak akan membawa perubahan berarti maupun golput karena hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan. Padahal hak pilih setiap warga negara dilindungi oleh undang – undang dimana semua warga berhak memilih dan menyalurkan aspirasinya, dalam hal ini melalui pemilihan umum secara langsung.
 Menurut data yang didapat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI),misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini benar, maka sebenarnya yang memenangkan pemilu adalah golput. Yang menjadi pertanyaan, mengapa banyak yang golput? Golput terdiri atas dua genre : golput politik dan golput teknis. Terhadap meraka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekedar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji – janji kosong yang langsung dilupakan ketika sudah melenggang di kursi – kursi parlemen. Dinegara ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dilonstruksikan sebagai hak, belum menjadi kewaajiban sebagaiman halnya di Australia. Namun bagi yang golput karena teknis-administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
Ada empat pihak yang patut disalahkan atas banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilih karena soal teknis-administratif. Pertama-tama dan yang utama adalah KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih.
 Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar. Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Pihak yang ingin “menyerang” KPU tinggal menggunakan ketentuan Pasal 260 dan Pasal 311 UU Pemilu. Pasal 260 mengancam dengan ancaman hukuman penjara 12-24 bulan terhadap setiap orang (termasuk anggota KPU) yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Pasal 311 menegaskan tambahan sepertiga hukuman bila tindak pidana pemilu tersebut dilakukan penyelenggara pemilu.
 Pihak kedua, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer dimana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Pihak ketiga yang harus disalahkan adalah partai politik. Undang-Undang Pemilu telah mengamanatkan bahwa parpol bisa meminta salinan daftar pemilih sementara (DPS) kepada panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya, parpol bisa mengecek apakah konstituen atau calon pemilih potensial mereka terdaftar. Nyatanya, banyak parpol tidak bekerja untuk itu. Bila menjelang hari pemilihan masih ada parpol yang berteriak bahwa banyak pemilihnya tidak terdaftar, teriakan itu tidak perlu didengarkan lagi. Undang – Undang Pemilu telah memberikan kesempatan, tetapi parpol tidak menggunakannya. Jangan karena awak tak pandai menari, lalu lantai pula yang disalahkan.
Terakhir, kesalahan patut pula ditimpakan kepada pemilih yang bersangkutan. Undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menengok dan melongok daftar pemilih sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi DPT. Bahkan penetapan DPT bisa direvisi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2009. Maksudnya, lagi-lagi agar mereka yang tidak terdaftar dapat mendaftarkan diri. Bila pemilih tidak juga terdaftar lantaran alpa mengecek DPT, mereka harus sadar bahwa konsekuensinya adalah tidak bisa memilih.
Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.
Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya memilih calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih di PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih warga sudah seharusnya di junjung tinggi dalam pelaksanaan pemilu, tidak seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak pilihnya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
b. Berjalankah Asas Luber dan Judil Dalam Pemilu 2009
Pemilu yang tidak mampu mancapai tujuan hanya akan hanya akan menjadi mekanisme pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Pemilu yang demikian adalah pemilu yang kehilangan roh demokrasi. Tujuan pemilu itu sendiri adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar – benar yang sesuai dengan pilihan rakyat. Untuk mencapai tujuan itu pemilu harus dilaksanakan menurut dengan asas – asas tertentu yang mengikat keseluruhan proses pemilu dan semua pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih atau bahkan pemerintah sekalipun. UUD 1945 menentukan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur,dan adil.
Bagi bangsa Indonesia, pemilu sudah merupakan bagian dari agenda ketatanegaraan yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali sejak masa Orde Baru. Asas pemilu pada masa Orde Baru adalah sebatas pada langsung, umum,bebas, dan rahasia atau yang dikenal dengan asas “luber”. Asas itu lebih diorientasikan kepada cara pemilih menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan, berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Namun apabila dilihat dari jalannya pemilu yang telah lalu, asas ini belum sepenuhnya tercapai karena masih banyak warga yang kehilangan hak pilihnya. Dengan demikian asas – asas tersebut hanya menjadi dasar pengaturan mekanisme pelaksanaan pemilihan atau pemungutan suara. Sementara terhadap penyelenggara pemilu dan peserta pemilu tidak ada asas yang harus dipatuhi. Salah satu akibatnya adalah terjadinya pengingkaran roh demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, baik oleh penyelenggara maupun peserta. Penyelenggara pemilu dalam praktiknya menjadi pemain untuk memenangkan peserta pemilu tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan dan prinsip demokrasi. Pada akhirnya, hasil pemilu tidak mencerminkan pilihan rakyat, tetapi hanya menjadi legitimasi bagi pihak yang sedang berkuasa. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam Perubahan UUD 1945 dirumuskan bahwa penyelenggaraan pemilu di samping harus secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, juga harus secara jujur dan adil.
Asas jujur mengandung arti bahwa pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Sesuai dengan asas jujur, tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Ini sangat jelas bahwa hak pilih sangat dilindungi, namun pemilu yang berjalan saat ini belum sepenuhnya menjiwai asas pemilu yaitu jujur.
Adapun asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian asas jujur dan adil menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan pemilu. Namun asas adil yang ada, dalam pemilu yang telah lalu belum mencerminkan sebuah keadilan yang merata terhadap jalannya pemilu. Terbukti dengan adanya warga Indonesia yang kehilangaan hak pilihnya. Hal ini menjadikan warga yang menganggap bahwa pemilu belum sepenuhnya sesuai dengan asas pemilu, bahkan masih jauh dengan asas pemilu itu sendiri.

B. Kesimpulan dan saran
a. Kesimpulan
            Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pemilu yang lalu telah menoreh sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia, tahun ini jumlah partai politik terbanyak dalam sejarah pemilu Indonesia yaitu sebanyak 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Pemilu lalu banyak sekali kelemahan dan pelanggaran terhadap hak politik warga. Kelemahannya yaitu masalah yang bersifat substantif maupun masalah teknis. Kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu marupakan kesalahan yang paling utama, namun kesalahan itu tidak menutup kemungkinan juga dari warga Indonesia itu sendiri.
Pemilu yang sudah berlalu belum sepenuhnya mencerminkan dengan adanya asas pemilu yaitu asas luber dan judil. Asas pemilu hanya sebagian kecil saja yang sudah tercermin dan terwujud dalam pemilu Indonesia. Namun banyak sekali pelanggaran terhadap nilai – nilai asas luber dan judil. Padahal UUD 1945 telah mentukan bahwa jalannya pemilu harus dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
b. Saran
            Jalannya pemilu haruslah sesuai dengan asas pemilu yang sudah secara jelas ditentukan oleh UUD 1945. Penyelenggara pemilu (KPU) harus menghindari kesalahan yang dapat merugikan warga negara, sehingga warga negara merasa tidak dirugikan dan hak politiknya tidak dilanggaran. Pemerintah harus menjamin hak pilih warga dan melakukan tindakan terhadap pelanggaran HAM dalam pemilu.

IV. DAFTAR PUSTAKA
Undang – Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2008.
Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005.
Pengamat hukum tata negara dan pemilu CETRO, Sumber: Harian Tempo, Rabu 15 April 2009.


KRISIS EKONOMI

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Quote:
1998
Krisis ekonomi dan Kerusuhan Mei 1998
22 Januari 1998
Rupiah tembus 17.000,- per dolar AS, IMF tidak menunjukkan rencana bantuannya.
12 Februari
Soeharto menunjuk Wiranto, menjadi Panglima Angkatan Bersenjata.
5 Maret
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI
10 Maret
Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kali dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.
14 Maret
Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII. Bob Hasan dan anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, terpilih menjadi menteri.
15 April
Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan berunjuk rasa menuntut dilakukannya reformasi politik
18 April
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.
1 Mei
Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
2 Mei
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (1998).
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi disikapi dengan represif oleh aparat. Di beberapa kampus terjadi bentrokan.

4 Mei
Harga BBM melonjak tajam hingga 71%, disusul tiga hari kerusuhan di Medan dengan korban sedikitnya 6 meninggal.
7 Mei
Peristiwa Cimanggis, bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan terjadi di kampus Fakultas Teknik Universitas Jayabaya, Cimanggis, yang mengakibatkan sedikitnya 52 mahasiswa dibawa ke RS Tugu Ibu, Cimanggis. Dua di antaranya terkena tembakan di leher dan lengan kanan, sedangkan sisanya cedera akibat pentungan rotan dan mengalami iritasi mata akibat gas air mata.
8 Mei
Peristiwa Gejayan, 1 mahasiswa Yogyakarta tewas terbunuh.
9 Mei
Soeharto berangkat seminggu ke Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G-15. Ini merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.
12 Mei
Tragedi Trisakti, 4 mahasiswa Trisakti terbunuh.
13 Mei


Mal Ratu Luwes di Jl. S. Parman termasuk salah satu yang dibakar di Solo
Kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta. kerusuhan juga terjadi di kota Solo.
Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 di Kairo, Mesir, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, dalam pertemuan tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Kairo, Soeharto menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
Etnis Tionghoa mulai eksodus meninggalkan Indonesia.
14 Mei
Demonstrasi terus bertambah besar hampir di semua kota di Indonesia, demonstran mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.
Soeharto, seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo.
Kerusuhan di Jakarta berlanjut, ratusan orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
15 Mei
Selesai mengikuti KTT G-15, tanggal 15 Mei l998, Presiden Soeharto kembali ke tanah air dan mendarat di lapangan Bandar Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta, subuh dini hari. Menjelang siang hari, Presiden Soeharto menerima Wakil Presiden B.J. Habibie dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.



Hayoo, Itu Cinta Ato Nafsu ?

Hayoo, Itu Cinta Ato Nafsu ?



Jrengg!! jreng!! jrenggg!!! yeah tema kita kali nie adalah tentang jatuh cinta. Yups semua orang yang ngaku normal pasti pernah ngerasain jatuh cinta. Buat yang blon tau tentang kronologisnya jatuh cinta, nich kita kasih info.
Orang jatuh cinta tuh katanya serasa dunia lagi musim gugur terus, innnnnnndaaahhh banget. Kalo tiba- tiba ketemu sama pujaan hati, beuh deg.. deg.. rasanya selangit boss. May be kalo di rongsen plus USG, tuh jantung kecepatannya dah 1000km/jam. Matanya jadi brubah bentuk alias jadi yang pada bentuk hati bgono. Bener- bener ajaib dah pren. Indikasi yang lain yaitu pengeen bener slalu deket- deket ama yang di sayang. Kalo perlu tuh rumah dia dipasangin semacam gelindingan, jadi biar gampang mindahinnya supaya bisa deket terus ama dia. Trus yang pada jatuh cinta biasanya suka senyum- senyum sendiri, nyanyi nyanyi sendiri, nggak pduli dah lagi dijalan ato dimana, hayuk ajah.  padahal nggak da tuh sarafnya yang lagi kejepit tau`.
Eiits, anda- tanda keanehan jatuh cinta nggak bhenti ampe situ. Berdasarkan data en nara sumber para korban penyakit cinta, alah, orang yang kena virus ini selain pengen selalu deket biasanya pengen selalu denger suara gebetan yang disayang ituh. Pas ngemenk- ngemenk di telpon biasanya lamaaa banget. Pembicaraannya pun nggak jelas ngebahas apaan. Pokoknya semua yang ada di otak, itulah yang dibicarakan. May be saking lamanya, kambing tetangga sampai melahirkan nggak kan pada nyadar kali`.
Nah, kalo dah pada cape telepon, ganti jurus tuh, pke sms an, mpe jempolnya pada berotot, hihi…
Wow ajaib !!
Waahh, jangan kaget mament.!! Emang kya gitu kalo lagi jatuh cinta, kya kesihir emang, en bener- bener jadi aneh!!
Tapi nih yang rada ngeri bener, dont try this at home yach. sekalinya orang yang kita sayang itu nolak cinta kita, dueerrr!! rasanya kya disambar petir disiang bolonng, rasanya pengen membumi hanguskan semua yang ada. (Lebay!!)…ih sirius tau`!!!. nangisnya kalo perlu ampe lima ember, belon lagih sedihnya yang mendayu- dayu. Nah Loh! Tragedi inilah yang paling mengerikan. badan keker juga nggak ngaruh pren, yang ada malah dulu kuat sekarang jadi ceking cengeng, dimana penampilan trendy jadi bener- bener berubah klasik (baca : tua), pokoknya drastis banget dah. Tuh semua karena manisnya kata-kata cinta berubah jadi pahitnya empedu kebencian (ooo00wwWW…. owww..oooowww!!!)
Heran deh ampe segitunya ya orang jatuh cinta. Eh tapi kalo dipikir- pikir sebenarnya apa sih tujuan mereka ampe ngelakuin hal yang ajaiib itu. KIra- kira nich, kalo yang pada nembak tuh trus ditrima, trus klanjutannya kya gimana sih?. Sebagian besar sih ngejawab, yah jalanin ajah dulu. Maksudnya pacaran ajah dulu. Lagian masih muda inih kan. Kan nggak buru- buru mau nikah juga kan.
Ringaan bener yach. Padahal sebenarnya, tuch cuman pikiran pendek yang nggak berdasar pren. Asli`!! widiiwwww, kenyataan yang ada sekarang niy gawat bener pren.
Berdasarkan data en nara sumber cewek cowok yang pacaran, ternyata yang ada yaitu 2.5nya kilap alias napsu sisanya 0.5 kali yang cinta, itu juga masih berat kotor pren. Yang bersihnya nggak tau tuh tinggal berapa? tanya aja mereka. Ato kalo kamu sendiri juga seperti mereka, coba tanya ajah ma diri sendiri (hayooo pada jujur yach!!)
Pada masih ingat nggak sama perintah Allah di  Alquran, `Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk  (QS.l7:32). Nah lo, deket-deket ajah nggak boleh, apalagi ampe keperosok jauh ke dalam. Naudzubillah..
Allah ngelarang kita bebuat sesuatu pasti bakal ada maksud baeknya. Nggak percaya? nich buktinya. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasiaonal (BKKBN) di tahun 2010 diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta. Ironisnya 800 ribu diantaranya terjadi di kalangan remaja. En kebanyakan semua tu kejadian dpake dalih cinta. Ya Allah, cinta macam apa tuh kalo malah nyakitin, ngerusak en ngebuat semua jadi malu, marah, sakit, sedih, dsb, dll
Ada yang bilang, yah mo zina ato nggak kan tergantung orangnya. tapi pertanyaannya siapa yang bakal bisa ngejamin kalo setan nggak ikut campur en jadi pihak ketiga?. Kan mereka datang tak dijemput pulang nggak dianter kan.
Nah dari pada sibuk menebak- nebak yang nggak jelas mendingan kita fokus ma yang baek- baek aja dulu deh. baca bentaran yuk yang ini,
“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS An-Nazi’at : 40-41)
Mau ga mau hidup emang kudu pake aturan pren, nah di rumah ortu ajah kalo kadang nggak ikut aturan mereka bisa- bisa panci melayang nyasar ke kita, apalagih di dunia yang semua muanya jadi hak milik Allah, karena emang Allah yang buat. Kita mah cuman sekedar hamba ajah.
Jadi, buat kamu yang masih punya masalah ama yang namanya cinta, jangan kecil hati dulu. Mencintai tuh nggak salah kok, malah manusiawi banget. Nich bkan masalah cintanya pren, tapi kamu punya kualitas cinta jangan cuman yang kelas bulu donk. Buat cinta kamu tuh begitu berharga sehingga hanya pantas kamu persembahkan kepada yang emang berharga. Jangan silau ma yang namanya cinta dunia en cinta buta.
Cinta tuh jelas beda ma nafsu en maksiat, apalagi zina.
Karena semua digaransi hanya bakal ngebuat hidup kamu tambah ribet en semrawut kya rambut kusut. Mangkanya kamu kudu ati ati jangan ampe salah melangkah en cinta yang awalnya anugrah malah menjadi nafsu yang nggak pke arah. Yang susah tar ujung- ujungnya juga kita juga kok.
So, akhiri semua imaginasi kamu en ketidak jelasan `cinta` yang kamu punya tuh sebelum semuanya terlambat dan mencemari lingkungan sekitar. Sante ajah, semua bakal ada waktunya. Yang penting jaga keindahan dan ketulusannya biar selalu en tetep selalu utuh dan kelihatan indah. Good luck yow!!

Istri Yang Sholehah

Hari demi hari pun aku lalui dengan kebahagiaan bersama istri tercintaku. Aku tidak menyangka, begitu sayangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku dengan memberikan seorang pendamping yang setiap waktu selalu mengingatkanku ketika aku lalai kepada-Nya. Yang lebih bersyukur lagi, hatiku terasa tenteram ketika harus meninggalkan istri untuk bekerja. Saat pergi dan pulang kerja, senyuman indahnya selalu menyambutku sebelum aku berucap salam. Bahkan, sampai saat ini aku belum bisa mendahului ucapan salamnya karena selalu terdahului olehnya. Subhanallah.
Sempat aku mencobanya memerintah berbohong dengan mengatakan kalau nanti ada yang mencariku, katakanlah aku tidak ada. Mendengar itu, istriku langsung menangis dan memelukku seraya berujar, “Apakah Aa’ (Kakanda) tega membiarkan aku berada di neraka karena perbuatan ini?”
Aku pun tersenyum, lalu kukatakan bahwa itu hanya ingin mencoba keimanannya. Mendengar itu, langsung saja aku mendapat cubitan kecil darinya dan kami pun tertawa.
Sungguh, ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat sehingga jika aku harus menggambarkanya, aku tak akan bisa. Dan sangat benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dunia hanyalah kesenangan sementara dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih baik daripada istri shalihah.” (Riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hari terus berganti dan tak terasa usia pernikahanku sudah lima bulan. Masya Allah.
Suatu malam istriku menangis tersedu-sedu, sehingga membangunkanku yang tengah tertidur. Merasa heran, aku pun bertanya kenapa dia menangis malam-malam begini.
Istriku hanya diam tertunduk dan masih dalam isakan tangisnya. Aku peluk erat dan aku belai rambutnya yang hitam pekat. Aku coba bertanya sekali lagi, apa penyebabnya? Setahuku, istriku cuma menangis ketika dalam keadaan shalat malam, tidak seperti malam itu.
Akhirnya, dengan berat hati istriku menceritakan penyebabnya. Astaghfirullah… alhamdulillah, aku terperanjat dan juga bahagia mendengar alasannya menangis. Istriku bilang, dia sedang hamil tiga bulan dan malam itu lagi mengidam. Dia ingin makan mie ayam kesukaanya tapi takut aku marah jika permohonannya itu diutarakan. Terlebih malam-malam begini, dia tidak mau merepotkanku.
Demi istri tersayang, malam itu aku bergegas meluncur mencari mie ayam kesukaannya. Alhamdulillah, walau memerlukan waktu yang lama dan harus mengiba kepada tukang mie (karena sudah tutup), akhirnya aku pun mendapatkannya.
Awalnya, tukang mie enggan memenuhi permintaanku. Namun setelah aku ceritakan apa yang terjadi, tukang mie itu pun tersenyum dan langsung menuju dapurnya. Tak lama kemudian memberikan bingkisan kecil berisi mie ayam permintaan istriku.
Ketika aku hendak membayar, dengan santun tukang mie tersebut berujar, “Nak, simpanlah uang itu buat anakmu kelak karena malam ini bapak merasa bahagia bisa menolong kamu. Sungguh pembalasan Allah lebih aku utamakan.”
Aku terenyuh. Begitu ikhlasnya si penjual mie itu. Setelah mengucapkan syukur dan tak lupa berterima kasih, aku pamit. Aku lihat senyumannya mengantar kepergianku.
“Alhamdulillah,” kata istriku ketika aku ceritakan begitu baiknya tukang mie itu. “Allah begitu sayang kepada kita dan ini harus kita syukuri, sungguh Allah akan menggantinya dengan pahala berlipat apa yang kita dan bapak itu lakukan malam ini,” katanya. Aku pun mengaminkannya.

Selasa, 09 Oktober 2012

Politik, Sosial & Budaya Banten

Peran Sosial Jawara
Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten. [21]
Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. [22] Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.
a.     Jaro
Di daerah pedesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang sering disebut jaro. [23] Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada zaman Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. [24] Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro), jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid). [25]
 
b.    Guru silat
Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung Karang, Pandeglang. [26] Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. [27] Setiap perguron memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah kelahirannya. Kini semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib.
 
c.     Guru Ilmu Batin (Magis)
Seorang jawara yang terkenal biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang baik juga memiliki ilmu “batin” atau magis, yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi keputusan praktisnya, seperti kebal dari berbagai senjata tajam, tahan dari api, juru ramal, pengusir jin atau setan, pengendali roh dan pengobatan, seperti patah tulang dan  tukang pijit.
Kecenderungan terhadap kekuatan supranatural seperti di daerah Banten ini, memang memiliki akar yang sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi  yang melakukan tapa, yakni sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian. Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan Hasanuddin sebelum menguasai daerah Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama ini dianggap sebagai pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari, Gunung Karang dan Pulau Panaitan sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. [28]
Bentuk-bentuk elmu yang sering dipergunakan para jawara adalah brajamusti  (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan sebagainya. [29]
 
d.       Pemain Debus (Seni Budaya Banten)
Peran jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan mendatangkan bencana atau kecelakaan.
Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. [30]
Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.
 
e.     Tentara Wakaf dan Khodim Kyai
Peran jawara sebagai “tentara wakaf” ini dikoordinir oleh P3SBBI. Mereka biasanya diterjunkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau partai politik. Pada masa Orde Baru “tentara wakaf” ini dijadikan alat oleh Golkar sebagai satuan pengamanannya di Banten. Bahkan, ketua umumnya sendiri dijadikan pengurus partai politik tersebut. Namun, perubahan politik yang besar yang terjadi di negeri ini pasca reformasi, juga ikut merubah pandangan politiknya. Mereka sekarang nampaknya ingin bersifat lebih netral, dengan tidak berafiliasi pada partai tertentu. Oleh karena itu, apabila ada tawaran-tawaran untuk menjaga keamanan atau membantu polisi, mereka lebih terbuka dan menerima tawaran tersebut tanpa lagi melihat afiliasi politik.
Jawara yang sebenarnya adalah “khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai “khodim kyai” maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni: membela kebenaran, berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang materialistik.
 
Jaringan & Hubungan Kyai & Jawara
Kedudukan dan peran sosial kyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur kekerabatan, hubungan guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat yang tradisional atau yang sedang dalam transisi, seperti masyarakat Banten, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. Hubungan sosial yang demikian dalam istilah Durkheim disebut dengan “solidaritas mekanis.” [31]
Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan adalah ijazah dan kawalat. [32]
Ijazah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Ijazah ini sangat penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Pemberian ijazah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu (elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah ijazah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa ijazah dari sang guru ilmu-ilmu magis itu tidak akan “manjur.”
Sedangkan, kawalat (kualat) atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk karena telah melanggar suatu larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan. Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-macam, seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut usahanya dan sebagainya.
 

Jaringan Kyai

Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.
 
a.     Kekerabatan
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
1.     K.H. Asytari
2.     Imam Nawawi
3.     Kyai Umar
4.     Kyai Arabi
5.     Kyai Ali
6.     Kyai Jamad
7.     Kyai Janta
8.     Kyai Masbugil
9.     Kyai Masqun
10.  Kyai Masnun
11.  Kyai Maswi
12.  Kyai Tajul Arusy Tanara
13.  Maulana Hasanuddin Banten
14.  Maulana Syarif Hidayatullah
15.  Raja Atamuddin Abdullah
16.  Ali Nuruddin
17.  Maulana Jamaluddin Akhbar Husain
18.  Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal
19.  Abdullah Adzmah Khan
20.  Amir Abdullah Malik
21.  Sayyid Alwi
22.  Sayyid Muhammad Mirbath
23.  Sayyid Ali Khali’ Qasim
24.  Sayid Alwi
25.  Imam Ubaidiilah
26.  Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
27.  Imam Isa al-Naqib
28.  Imam Muhmmad Naqib
29.  Imam Ali Ardhi
30.  Imam Ja’far al-Shadiq
31.  Imam Muhammad al-Baqir
32.  Imam Ali Zainal Abidin
33.  Sayyidina Husain
34.  Sayyidatuna Fathimah Zahra
35.  Nabi Muhammad Saw.
 
Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.
 
b.    Guru-Murid
Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35] .
Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Nabi Muhammad Saw.
2.        Ali bin Abi Thalib
3.        Husein bin Fatimah Al-Zahra
4.        Imam Zainal Abidin
5.        Syaikh Muhamad al-Baqir
6.        Syaikh Ja’far al-Shadiq
7.        Syaikh Musa al-Kadzim
8.        Syaikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha
9.        Syaikh Ma’ruf al-Karkhi
10.     Syaikh Sari al-Saqati
11.     Syaikh Abi al-Qasim Junayd
12.     Sayikh Abu Bakar al-Shibli
13.     Syaikh Abd al-Wahid al-Tamimi.
14.     Syaikh Abi al-Faraj al-Tartusi
15.     Syaikh Abi Hasan al-Hiraki
16.     Syaikh Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum
17.     Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani
18.     Syaikh Abd al-Aziz
19.     Syaikh Muhammad al-Hattaki
 
20.    Syaikh Syams al-Din
21.    Syaikh Syaraf al-Din
22.    Syaikh Zayn al-Din
23.    Syaikh Nur al-Din
24.    Syaikh Waliyu al-Din
25.    Syaikh Husham al-Din
26.    Syaikh Yahya
27.    Syaikh Abi Bakr
28.    Syaikh Abd al-Rahim
29.    Syaikh Ustman
30.    Syaikh Kamal al-Din
31.    Syaikh Abd al-Fattah
32.    Syaikh Murod
33.    Syaikh Syams al-Din
34.    Syaikh Ahmad Khatib Sambas
35.    Syaikh Abdul Karim Tanara
36.    K.H. Asnawi
37.    K.H. Ahmad Suhari
38.    K.H. Khodim
 
c. Organisasi Massa
          Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk membangun jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar.
Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten, yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang lain.
Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37]
Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:
1.        K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang
2.        K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
3.        K.H. Mohammad Nur dari Keramat Watu, Serang.
4.        K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang
5.        K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
6.        K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Keramat Watu Serang.
7.        K.H. Ismail dari Keragilan Serang.
8.        K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
9.        Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
10.     Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
11.     K.H. Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
12.     K.H. Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.
 

Jaringan Jawara

Para jawara dalam membangun hubungan antar mereka dan dengan pihak lain membangun jaringan yang khas. Salah satu yang khas dari kehidupan antar mereka adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi kalau yang menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti adanya hubungan kekerabatan, seguru-seelmu, pertemanan dan sebagainya.
Jaringan yang dibentuk oleh para jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI (Persatuan Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Organisasi para pendekar ini kini menghimpung lebih dari 100 perguron yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Orginsasi ini berpusat di Serang, Ibu Kota Propinsi Banten, yang kini masih dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib.
 
a.     Kekerabatan
Meskipun jaringan kekerabatan dalam kehidupan para jawara tidak seketat dalam tradisi kehidupan para kyai, namun kekerabatan juga memiliki hal penting dalam membina hubungan solidaritas dan pengajaran elmu-elmu kesaktian dan magis. Para jawara akan membela sepenuhnya apabila ada salah seorang dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para jawara akan mengutamakan para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya, dalam mengajarkan elmu yang dimilikinya dari pada ke orang lain.
Rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari nilai-nilai yang sering didengungkan dalam kehidupan mereka. Para jawara sering menekankan bahwa kalau menjadi jawara harus (1) leber wawanen (berani dan militan), (2), silih wawangi (sikap kekeluargaan) dan (3) kukuh kana janji (memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji). [38]
 
b.    Seguru-seelmu
Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru, terutama yang menurunkan elmu kesaktian atau magis, adalah sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan “abah”, yang artinya sama dengan “bapak”. Panggilan itu menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya.
Kini jaringan seguru-seelmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguron-perguron persilatan yang masih tetap bertahan, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguron memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain. Perguron-perguroan yang cukup terkenal karena memiliki jaringan yang cukup besar adalah Trumbu, Bandrong, TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir) dan Jalak Rawi.
 
c.     Organisasi Massa
Organisasi yang didirikan oleh para tokoh jawara adalah Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBI) pada tahun 1971, hampir bersamaan dengan didirikannya Satkar Ulama (Satuan Karya Ulama). [39] Pendirian organisasi ini nampaknya juga tidak lepas dari campur tangan pemerintah  dalam rangka merangkul dan mengendalikan potensi politik yang ada di wilayah Banten. [40]
 

Hubungan Kyai dan Jawara

Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. [41]
Kyai dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. [42] Kyai mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).
Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan kyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari kyai, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kyai dipandang sebagai penebus “berkah” kyai yang telah diberikan kepadanya. [43]
 
PENUTUP
Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga kyai dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur kyai dan jawara.
Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, kyai dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar kyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.
Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kedua, kyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat.  Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.
Ketiga, peranan yang dimainkan oleh kyai dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang kyai adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik kyai dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.
Sementara itu, peranan sosial jawara adalah lebih cenderung kepada pengolahan kekuatan  fisik dan “batin,” sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran tradisional yang sering dimainkan para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magis, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat yang pernah ada dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, memiliki signifikansi yang tinggi. Namun demikian, saat ini peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten sangat menentukan. Tentunya, demikian ini mengalami peningkatan peranan yang signifikan dibandingkan dengan peranan masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten, sehingga dapat menentukan masa depan kesejarahan masyarakatnya
Keempat, jaringan tradisional yang dibangun kelompok kyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.
Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, kyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kyai. Sebaliknya, kyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak kyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.
Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada dua hal yang perlu diperhatikan: 
1.     Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.
2.     Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap kehidupan sosial di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Ambary, Hasan Ambary dan Halwany Michrob, “Bandar Banten, Penduduk dan Golongan Masyarakatnya: Kajian Historis dan Arkeologis serta Prospek Masyarakat Banten ke Masa Depan,” dalam Makalah pada Simposium Internasional Kedudukan dan Peranan Bandar Banten dalam Perdagangan Internasional, Gedung DPRD Serang, 9 Oktober 1995.
Aminuddin, Sandji, ”Kesenian Rakyat Banten, dalam Makalah pada Diskusi Ilmiyah Kedudukan Bandar Banten dalam Lalu Lintas Perdagangan Jalur Sutera, di Serang pada 18-21 Oktober 1993.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. IV, Mizan, Bandung, 1998.
Banten dalam Angka Tahun 2000, Bapeda Propinsi Banten & Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Arisyah Alam, Paramadina, Jakarta, 2000.
van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:  Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, cet. III, Mizan, Bandung, 1999.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1985.
Ekadjati, Edi S.,  Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
Geertz, Cilfford, The Religion of Java, University of Chicago Press, Chicago, 1970.
Guillot, Cluade,  The Sultanate of Banten, Gramedia, Jakarta, 1990.
Guillot, Claude, dkk, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 9321-1526, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1996.
Hefner, Robert W., Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj. A Wisnuhardana & Imam Ahmad, LKiS, Yogyakarta, 1999.
Hobsbbawn, E.J., “Bandit Sosial” dalam Sartono Kartodirjo (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999.
Horikoshi, Hiroko,  Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987.
Djajadiningrat, Hosein, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.
Djalil Afif, Abdul dkk., Dinamika Sistem Pendidikan Al-Khariyah: Suatu Kajian tentang Arah Pembinaan dan Pengembangan dari Visi Keunggulan, Laporan hasil penelitian, Fakultas Syari’ah IAIN “SGD” di Serang 1997.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
Kahin, Audery R., Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, terj. Satyagaha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1990.
Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984.
_________, Modern Indonesia: Tradition and Transformation, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1984.
Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990.
Lukes, Steven, Emile Durkheim: His Life and Work, Penguin Books, New York, 1981.
Madge, John, The Origins of Scientific Sociology, The Free Press, New York, 1968.
Mansur, Khatib, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Propinsi: Catatan Kesaksian Seorang Wartawan, Antara Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
_________ dan Moenthadim, Martin (eds.), Profile Haji Chasan Sochib Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten, Pustaka Antara Utama, Jakarta, 2000.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
Michrob, Halwany dan Chudari, A. Mudjadid, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang, 1993.
Muzakki, Makmun “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.
Rubington, Earl and Weinberg, Martin S., Deviance: The Interactionist Perspective, Macmillan Publishing, New York, 1987.
Short, James F., “Subculture” dalam Adam Kuper and Jessica Kuper (eds.), The Social Science Encyclopaedia, The Macmillan Company and Free Press, New York, 1972.
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1999.
Sunarta, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal,” dalam Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 1997.
Suharto, “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001.
_________, Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Suatu Studi Awal, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996.
Suparlan, Parsudi, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama”, dalam Parsudi Suparlan (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama,  Puslitbang Depag RI, Jakarta, 1981.
Steenbrink, Karl A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1984.
­_________, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Tihami, M.A., “Kyai dan Jawara di Banten,” dalam Tesis Master Univervesitas Indonesia, 1992.
_________, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.
Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company, Belmont, 1998.
Turner, Ralph H., “Social Roles: Sociological Aspects”, dalam International Encyclopaedia of Social Sciences, Macmillan, New York, 1968.
Williams, Michael Charle, Communism, Religion, and Revolt in Banten, Center for International Studies, Ohio University, 1990.
Willner, Ann Ruth dan Willner, Dorothy “Kebangkitan dan Peranan Pemimpin-pemimpin Kharismatik” dalam Sartono Kartodirdjo, (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
Weber, Max,  The Theory of Social and Economic Organization, trans. Henderson and Talcott Parsons, The Free Press, New York, 1966.
Woodward, Mark R. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, LKiS, Yogyakarta, 1999.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
 
 


[21] H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.
 
 
[22] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 83
 
 
[23] Sebenarnya asal-usul kata jaro tidak jelas dan semenjak kapan kata tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu wilayah administrasi pedesaan. Menurut M.A. Tihami bahwa jaro itu berasal dari bahasa Arab “jar” yang artinya tetangga. Sebuah desa Banten pada zaman dulu memang mengelompok dalam suatu daerah tertentu sehingga antar satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah bertetangga (jar). Sehingga suatu daerah yang sudah dihuni oleh banyak keluarga dikenal dengan kejaroan, maka orang yang menjadi pemimpin dari suatu kejaroan tersebut disebut jaro. Lihat M.A. Tihami, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten, dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.
 
 
[24] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 81.
 
 
[25] Ibid.
 
 
[26] Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 25.
 
 
[27] Khatib Mansur dan Martin Moenthadim (ed.), op.cit., hlm. 2.
 
 
[28] Husein Djayadiningrat, op.cit., hlm. 34.
 
 
[29] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), hlm. 157-166.
 
 
[30] Sebenarnya memang ada hubungan yang dekat antara tarekat dengan permainan debus, terutama debus al-madad, dalam hal wasîlah atau hadlarat kepada para silsilah syaikh-syaikh sufi dan pengamalan doa-doanya. Lebih jauh lihat Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, dalam Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.
 
 
[31] Steven Lukes, Emile Durkheim: His Life and Work, (New York: Penguin Books, 1981), hlm. 140.
 
 
[32] Lihat M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten”, op.cit., hlm. 181.
 
 
[33] Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 61-62.
 
 
[34] Sumber berasal dari Yayasan Nawawi Tanara Banten.
 
 
[35] Jaringan intelektual yang terjalin antara ulama di timur Tengah dengan para ulama di Nusantara terutama pada abad XVII dan XVIII dijelaskan secara komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).
 
 
[36] Al-Khaeriyah didirikan oleh K.H. Syam’un berlokasi di Citangkil-Cilegon. Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Abdurahman yang bertempat di Menes Pandeglang. Sedangkan, Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Asnawi di Caringin-Labuan, Pandeglang.
 
 
[37] Organisasi masa yang menghimpun para alumni lembaga Al-Khaeriyah kini dipimpin oleh Prof. Dr. H. M.A. Tihami, M.A. yang juga Ketua STAIN “SMHB” Serang.
 
 
[38] Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, dalam Disertasi Pada Program Pascasarjana, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1997), hlm. 2002.
 
 
[39] Lihat hasil wawancara dengan Haji Tb. Chasan Sochib dalam buku yang disunting oleh Khatib Mansur dan Martin Moentadhim S.M., (eds). op.cit., hlm. 87.
 
 
[40] Hasil wawancara dengan Aep, salah seorang pengurus P3SBBI pada 2 Oktober 2002 di Kantor PESBBI, Serang.
 
 
[41] Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 224. Lihat pula Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, hlm. 131.
 
 
[42] Karl D.Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
 
 
[43] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten,” op.cit., hlm. 103.